Sebelum Revolusi Indonesia
LATAR BELAKANG
1.
Gerakan Awal PKI
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis
Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan
awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis
Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial
Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan
dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka).Editornya
adalahAdolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut
kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota,
dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia.
Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti
kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan
kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV.
Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri
dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada 1917
ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka". Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi
Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini
berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang
ditempatkan di Hindia Belanda.
Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu
tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para
tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut
utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa
kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV
dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di
kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. ISDV terus
melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi
ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah
sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di
kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari
mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.
2.
Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke
dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara
para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam
melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di
kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat
para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk
partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama
organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat
sebagai ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi
bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada
kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini
sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
3.
Pemberontakan 1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan
pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan
terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh
penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan.
Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul,
sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan.
Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial,
dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan
terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah
tanah. Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di
dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas
oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa
terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai
pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi
Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di
Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra. Pada masa awal
pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak
dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari
pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di
bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak
dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di
Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada
di dalam kontrol PKI.
4.
Peristiwa Madiun 1948
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peristiwa
Madiun Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan
pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan
Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi
Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit
wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap
merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa
menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang
dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda
antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan
membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak
lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir
Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk
pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror,
mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan
Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18
September 1948 di Madiun, Jawa Timur.T ujuan pemberontakan itu adalah
meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini
beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang
dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat
marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar
Soedirmanmemerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI.
Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi.
Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan
tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
5.
Bangkit kembali Pada 1950
PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan
organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI
mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan
mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh
Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin
muda seperti Sudisman,Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai
pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari
30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar
3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta
pada 1959 [4]
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan
militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan
danJakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk
sementara waktu.
6. Pemilu 1955 Pada Pemilu 1955
PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari
keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang
diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas Papua bagian
barat merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat.
Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan
dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota.
Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut
supaya PKI dilarang [5]. Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada
umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan
milik Belanda.
Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan parakapitalis asing memberikan PKI
kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang
dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro Amerika Serikat di kalangan militer dan
politik sayap kanan.
Para pemberontak, yang berbasis di Sumatera dan
Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentukPemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner
ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah
kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan
pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan
ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi
diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai
dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya.
Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang
merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian
peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya
dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah
front bersatu yang multi-kelas. Meskipun PKI mendukung Soekarno, ia tidak
kehilangan otonomi politiknya. Pada Maret 1960, PKI mengecam penanganan
anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno.
Pada 8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel
yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer,
namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno. Ketika gagasan
tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada
1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT.
Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah
organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia),
Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat
(Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia(HSI).
Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan
organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima
dari seluruh rakyat Indonesia. Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan
pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri
penasihat. Pada bulanApril 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya.
Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina
terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang
pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh
presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan
federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia
dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan
Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam
perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu
tiba. Kebanyakan dari satuan-satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan di
Kalimantan.
Pada Januari 1964 PKI mulai menyita hak milik
perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia. Salah satu hal yang sangat aneh
yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari
buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai
seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI
AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan
"tentaranya".
7.
Gerakan 30 September
Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa
yang disebut „rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap
Presiden Sukarno“.
[April 2010] Bukan mustahil bahwa kebijaksanaan untuk
tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap sebagai
satu rangkaian dari rencana keberhasilan “Dewan Jenderal”, padahal sikap itu
sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet Memang PKI sudah dirasakan
oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin agresif dalam sikap
dan tindakannya.
Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi
serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut „kapitalis
birokrat“[April 2010] terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara,
pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan “Aksi
Sepihak” dan istilah “7 setan desa”
[April 2010], serta serangan-serangan terhadap
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada “kepemimpinanNya”
dan mengabaikan “demokrasi” [April 2010] adalah pertanda meningkatnya
rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap
bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.
[April 2010] Dilupakannya bahwa seumpama benar
dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali
tidak berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.
[April 2010] Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara
politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit
dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di
komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer
dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang
bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari
gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS
(Monumen Nasional).
Sedang pimpinan
gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri. Menurut keterangan, sejak dicetuskannya
gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro,
sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari
Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan,
karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka
dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari
jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke
Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh
teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Antara
kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi
narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan
pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi.
Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya
peristiwa. Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina),
Hsinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah
internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas
intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.
[April 2010] Presiden Soekarno pun berkali-kali
melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai
melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing
oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno
tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan
Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan
pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30
September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum
sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama
PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja
harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi
artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa in factum. Penculikan dan
kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi
dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan
effek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya,
mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar
manusia di Indonesia. Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto,
muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai
Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau
mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan
baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi
juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat
keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi
banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah,
ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan
manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah
bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini
diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu
jauh ke kanan. Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu
sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI
pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI
terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30
September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama
Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak
terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan
Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan
kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik
dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain
yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke
waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran
tak boleh dihentikan.
Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat
dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam
kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal
dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban,
pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi
dengan gejala. Tidak perlu harus menjadi komunis lebih dulu untuk mengakui
sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Akan tetapi
tentu adalah keliru bila menggunakan terminologi nilai-nilai kemanusiaan untuk
memberikan pembenaran atas suatu peristiwa politik yang melibatkan PKI sebagai
pelaku politik Gerakan 30 September yang dilancarkan oleh PKI kini disebut
dengan peristiwa G30S/PKI. Dimana peristiwa tersebut telah cukup menggambaran
penculikan dan pembunuhan terencana yang dipublikasikan dilakukan oleh PKI
terhadap sejumlah jenderal TNI AD yang kemudian di buang ke sumur tua di daerah
Lubang Buaya. Dan gagalnya upaya PKI untuk menggulingkan Ideologi Pancasila
yang menjadi dasar negara Indonesia untuk kemudian di ganti dengan Ideologi
Komunis, pada masa pemerintahan presiden Soeharto telah dikenal dengan
peringatan hari kesaktian Pancasila yang selalu diperingati setiap tanggal 1
Oktober oleh seluruh rakyat indonesia dengan mengkibaran bendera setengah
tiang. Namun kini berbagai pertanyaan tentang siapa perencana gerakan 30
September masih berkumandang. A. Gerakan Wanita Indonesia Gerakan Wanita
Indonesia atau Gerwani adalah organisasi wanita yang aktif di Indonesia pada
tahun 1950-an dan 1960-an. Kelompok ini memiliki hubungan yang kuat dengan
Partai Komunis Indonesia, namun sebenarnya merupakan organisasi independen yang
memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme. Gerwani dianggap oleh
Orde Baru sebagai salah satu organisasi yang terlibat dalam peristiwa Gerakan
30 September, dan dalam filmPengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C Noer
digambarkan menyiksa jendral-jendral yang ditangkap sebelum mereka dibunuh di
Lubang Buaya. Selain itu juga digambarkan adegan-adegan di mana anggota-anggota
Gerwani menari telanjang, memotong alat kelamin tawanan mereka dan melakukan
perbuatan amoral lainnya. Sebagian besar ahli sejarah sepakat bahwa
tuduhan-tuduhan ini palsu. Setelah Soeharto menjadi presiden, Gerwani dilarang
keberadaannya dan banyak anggotanya diperkosa dan dibunuh, seperti halnya
banyak orang lain yang dicurigai sebagai anggota PKI. B. Angkatan Kelima
Angkatan Kelima adalah unsur pertahanan keamanan Republik Indonesia yang
merupakan gagasan Partai Komunis Indonesia PKI. Angkatan Kelima ini diambil
dari kalangan buruh dan petani yang dipersenjatai. Latar Belakang dan
Perkembangannya Unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI sekarang
TNI) secara resmi pada saat Demokrasi Terpimpin terdiri dari Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta Angkatan Kepolisian. Pada saat itu,
masing-masing unsur merupakan Kementerian yang bertanggung jawab kepada
Presiden/Panglima Besar Revolusi. Sekalipun ada Panglima Angkatan Bersenjata
atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata merangkap Menteri Koordinator bidang
Hankam, sifatnya hanyalah berurusan dengan administrasi tidak memegang komando.
Keberadaan Angkatan Kepolisian, yang dijadikan unsur Hankam, masih berlanjut
hingga pada tahun 1999, ketika akhirnya Kepolisian dilepas dari unsur Hankam.
Demikian pula ketika masa revolusi kemerdekaan, Kepolisian dibawah Departemen
Dalam Negeri. Pada masa Demokrasi terpimpin, Partai Komunis Indonesia merupakan
partai besar Indonesia paska Pemilu 1955, merupakan unsur dalam konsep Nasakom
(Nasional, Agama dan Komunis). Dengan situasi politik yang penuh gejolak dan
seruan revolusioner dari Presiden Soekarno serta banyaknya Konflik seperti
Irian Barat (Trikora) dan Ganyang Malaysia (Dwikora) yang membutuhkan banyak sukarelawan-sukarelawan,
PKI kemudian mengajukan usul kepada pemerintah/Presiden untuk membentuk
angkatan kelima yang terdiri atas kaum buruh dan tani yang dipersenjatai. Hal
ini menimbulkan kegusaran dikalangan pimpinan militer khususnya Angkatan Darat.
Khawatir unsur ini digunakan oleh PKI untuk merebut kekuasaan, meniru
pengalaman dari revolusi baik dari Rusia maupun RRC. Oleh karena itu itu,
pimpinan Angkatan Darat menolak usulan itu. Pada saat situasi pra G30S, terjadi
konflik tertutup yang cukup panas antara Angkatan Darat dan PKI terutama untuk
mengantisipasi kepemimpinan nasional paska Presiden Soekarno. Belakangan
disebutkan oleh sebagian kalangan bahwa dalam konflik terutama Dwikora,
Angkatan Darat dianggap tidak sungguh sungguh dalam melakukan operasi militer
dibandingkan Angkatan Laut dan Angkatan Udara, sehingga memancing PKI untuk
membentuk unsur ini sebagai bantuan sukarelawan. PKI sendiri melatih berbagai
unsur-unsur ormasnya dalam bentuk latihan militer meski ada sebagian
menyebutkan bahwa latihan yang diikuti unsur-unsur PKI sebenarnya adalah
latihan resmi untuk sukarelawan baik dari kalangan Nasionalis maupun Agama.
Namun berbagai kesaksian dari para tahanan politik menyebutkan bahwa latihan
itu justru lebih banyak diikuti oleh unsur Komunis seperti Pemuda Rakyatdan
Gerwani dibandingkan unsur-unsur lain. Sehingga banyak kesaksian dari para
tahanan politik terutama mantan petinggi militer yang menjadi tahanan politik
yang mengatakan bahwa panyak perwira-perwira menengah yang kemudian tersangkut dalam
G30S yang dituduh melatih unsur unsur komunis mengatakan bahwa latihan itu
adalah latihan sukarelawan untuk dwikora yang sifatnya resmi. Dalam latihan
bagi sukarelawan tersebut, para saksi terutama dari Angkatan Udara juga
mengatakan keheranannya bahwa latihan ini mirip latihan tentara merah Tiongkok
Komunis, terutama ketika defile baris-berbaris meski dijawab untuk sebagai
unsur kepantasan (kegagahan) saja. Akhirnya muncul kasus penyelundupan senjata
ilegal dari RRC atau Tiongkok komunis yang dituduhkan dikemudian hari, terutama
paska peristiwa Gerakan 30 September yang gagal, yang dituduhkan sebagai usaha
PKI untuk membentuk angkatan kelima dengan bantuan RRC. Namun kasus ini, yang
disebut-sebut pada masa Orde Baru adalah benar-benar adanya, setelah reformasi
1998, menjadi bagian yang dipertanyakan atau merupakan unsur dari sekian unsur
sejarah Indonesia yang masih gelap. Akhir dari Angkatan Kelima Setelah
peristiwa Gerakan 30 September yang kemudian dipatahkan atau gagal. Praktis
Angkatan Kelima ini lenyap. Angkatan Darat denganSupersemar akhirnya
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya terutama diantaranya dari Pemuda Rakyat,
Gerwani, Barisan Tani Indonesia dan SOBSI yang dituduhkan merupakan unsur
Angkatan Kelima serta mengadakan penagkapan-penangkapan yang pada paska
reformasi 1998 dikatakan sebagai "pembersihan". Selain dari unsur
PKI, pemerintahan saat itu, paska Supersemar yang dipegang oleh Mayor
JenderalSoeharto juga menahan para perwira militer yang dikatakan terlibat
dalam Gerakan 30 September dan melatih "Angkatan Kelima" yang
kemudian justru dialamatkan pada Angkatan Udara, yang memang dianggap aktif
mendukung kebijakan Presiden Soekarno. Sebagian Sukarelawan yang sudah
dikirimkan ke Kalimantan dalam konflik Dwikora, akhirnya juga dilucuti. Dalam kasus
ini muncullah istilahParaku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) yang disebut
sebut ditumpas oleh Militer Republik Indonesia dan Militer Malaysia karena
melakukan perlawanan.
Sumber : Berbagai Sumber
Cek Selengkapnya >> Sejarah G30S/PKI
No comments:
Post a Comment